Wednesday, February 22, 2006

Laporan Intelijen Sebagai Bukti Permulaan yang Cukup (Tinjauan terhadap Pasal 26 UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme)

TINDAK PIDANA TERORISME
A. Tinjauan mengenai Kegiatan Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Teror atau terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan[1]. Sebelum memberi batasan pengertian terorisme, maka akan diuraikan beberapa bentuk tindak pidana yang mirip dengan terorisme, sehingga dengan memperhatikan unsur-unsur persamaan dan perbedaan yang ada, akan lebih memberi pemahaman arti terorisme itu sendiri. Pengertian terorisme berbeda dengan intimidasi atau sabotase. Letak perbedaannya, yaitu pada sasaran. Intimidasi dan sabotase umumnya tertuju pada sasaran yang sudah limitatif dan korbannya pun sesuai dengan objek yang telah direncanakan, yang sifatnya limitatif pula dan lebih banyak didasari dengan motif ekonomi. Sedangkan sasaran terorisme lebih banyak didasari atas motif ideologi dan politik, sehingga korban, baik manusia maupun benda fisik lainnya bukan merupakan hal yang harus diperhitungkan, yang penting tujuan ideologi dan politiknya tercapai.
Korban tindakan terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kegiatan terorisme dilakukan oleh kaum teroris dengan tujuan untuk mencari perhatian dari masyarakat luas melalui sensasi yang mereka ciptakan, dengan demikian apa yang menjadi tujuan perjuangan mereka mendapat perhatian dan diharapkan dapat diwujudkan.
Tindakan teror tidak sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik, ataupun mafia yang menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Omerta atau tindakan tutup mulut inilah yang terutama membedakan terorisme dengan mafia, karena kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Para pelaku terorisme berupaya menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya[2].
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan tindak pidana terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif[3]. Tidak mudahnya merumuskan definisi terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[4].
Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[5]. Menurut Black’s Law Dictionary,

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk:
a. mengintimidasi penduduk sipil.
b. mempengaruhi kebijakan pemerintah.
c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan[6].


Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik, dengan berbagai bentuk perbuatan, seperti berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku terorisme dapat merupakan individu, kelompok, atau negara, yang melakukan tindak pidana tersebut dengan tujuan menimbulkan munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain[7]. Sedangkan menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate[8].”
Doktrin membedakan terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen kekerasan, tujuan politik dan teror/intended audience[9].
Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak peraturan yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan terorisme yaitu[10]:
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention”, 1963).
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention”, 1970).
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention”, 1971).
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973.
5. International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”, 1979).
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention”, 1980).
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988.
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988.
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution).
12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.



Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain:
a. Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI).

Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik[11].

b. Menurut Konvensi PBB tahun 1937,

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas[12].

c. Menurut A.C Manullang.

Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme[13].

d. Menurut Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme sangant bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama[14].
e. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam tindak pidana terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (tindak pidana terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, jika:
1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)[15].

2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)[16].

Seseorang juga dianggap melakukan tindak pidana terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh beberapa pihak, maka yang menjadi ciri dari suatu tindak pidana terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

2. Sejarah Terorisme
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia[17]. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh[18].
Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh kelompok teroris yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Namun terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan[19].
Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal "damai". Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara-Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya terorisme.
Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasawarsa 70-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya[20]. Terorisme gaya baru yang banyak dilakukan oleh pelaku tindak pidana terorisme, mengandung beberapa karakteristik[21]:
a. menimbulkan korban semaksimal mungkin.
b. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
c. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.
d. serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

3. Terorisme Nasional dan Internasional
Jika dilihat dari besar ukuran/skala sasaran yang dituju oleh para pelaku tindak pidana terorisme, maka bentuk terorisme dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu terorisme nasional, yang diarahkan pada lingkup suatu negara secara terbatas, dan terorisme internasional/global yang terarah pada kepentingan-kepentingan global tanpa batas-batas tertentu suatu negara[22].
Mengacu kepada ciri terorisme internasional tersebut diatas, baik peristiwa World Trade Centre maupun Tragedi Bali, keduanya merupakan salah satu bentuk terorisme internasional karena dalam kedua peristiwa tersebut, memakan korban yang berjumlah sangat besar yang berasal dari berbagai negara (lebih dari satu negara). Karena merupakan tindakan terorisme, pengeboman ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana internasional (delicta juris gentium), dimana yang termasuk dalam pengertian tindak pidana internasional adalah[23]:

a. tindakan yang mengandung unsur ancaman terhadap keamanan dunia,
b. menggoyahkan perasaan kemanusiaan,
c. melibatkan lebih dari satu negara,
d. membawa efek pada warganegara lebih dari satu negara,
e. menggunakan alat dan metode yang bersifat lintas negara,
f. dan ikhtiar solusi atas persoalan yang ditimbulkan melibatkan banyak negara.
Dengan terpenuhinya unsur kejahatan internasional, maka setiap negara berhak dan wajib menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku kejahatan tersebut, karena pelaku kejahatan internasional merupakan musuh umat manusia, dan nilai kemanusiaan melampaui batas tempat dan waktu[24]. Peristiwa Bom Bali dapat dikatakan sebagai peristiwa yang merupakan terorisme internasional yang kegiatannya dimotivasi oleh tujuan ideologi dan politik tertentu dengan mengorbankan manusia, siapa saja.

B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Perkembangan kejahatan internasional dalam memasuki abad ke-21 semakin meningkat. Terjadinya tindak-tindak terorisme yang belakangan ini semakin sering terjadi, baik di Indonesia maupun di dunia Internasional, dengan segala kerugian yang diakibatkannya, mau tidak mau mengharuskan Indonesia untuk ikut andil dalam usaha pemberantasan terorisme. Paling tidak, salah satu hal yang mendorong pembentukan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini adalah karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang terkompilasi mengenai perbuatan terorisme, padahal untuk dapat mengatasi dan mencegah suatu tindak pidana terorisme, dibutuhkan aturan yang secara khusus mengatur tentang perbuatan terorisme tersebut, sehingga dengan adanya kepastian hukum, pelaksanaan tugas oleh aparat, baik untuk mengatasi maupun sebagai upaya pencegahan mempunyai koridor yang jelas. Ini sangat penting, selain sebagai upaya perlindungan hukum bagi aparat penegak hukum maupun untuk perlindungan Hak Asasi Manusia bagi orang-orang yang diduga kuat melakukan tindak pidana terorisme.
Sejauh ini, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme, diselesaikan melalui aturan klasik tentang delik kekerasan dan delik kejahatan terhadap keamanan negara maupun ketertiban umum serta perangkat Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 tentang Penguasaan Senjata Api[25]. Hal ini dianggap tidak memadai, maka Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan negara Indonesia menyadari bahwa norma-norma hukum yang ada sekarang seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lain, kesemuanya hanya memuat tindak pidana biasa (ordinary crime), sehingga tidak memadai untuk mengatasi dan memberantas tindak pidana terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), demikian pula halnya dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)[26], sehingga dirasakan perlu dibentuk Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum yang kokoh dan komprehensif untuk memberantas tindak pidana terorisme. Mengenai hal ihwal kegentingan yang memicu lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah karena adanya rasa takut masyarakat serta dampak yang ditimbulkan oleh Tragedi Bali, yang mempengaruhi tidak hanya terhadap perasaan aman masyarakat tetapi juga ekonomi dan sosial[27]. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari penyusunan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini adalah[28]:
a. Memberikan landasan hukum yang kuat dan komprehensif guna mencapai kepastian hukum dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap perkara Tindak Pidana Terorisme.
b. Menciptakan suasana aman, tertib dan damai yang mendorong terwujudnya kehidupan yang sejahtera bagi bangsa Indonesia.
c. Untuk mencegah dampak negatif terorisme yang meluas di dalam kehidupan masyarakat dan sekaligus untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara yang diberi tugas dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme.
d. Untuk menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penegakkan hukum terhadap kegiatan terorisme.
e. Untuk melindungi kedaulatan wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia dan seluruh isinya dari kegiatan terorisme yang berlatar belakang isu atau masalah local, nasional maupu internasional dan mencegah cengkeraman serta tekanan dari negara kuat dengan dalih memerangi terorisme.




Menurut Konsiderans Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, urgensi pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kerjasama internasional sesuai dengan tekad bangsa Indonesia yang tertuang dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[29]. Pelaksanaan tekad tersebut, dilaksanakan antara lain dengan merujuk pada Resolusi Anti Terorisme dari Dewan Keamanan PBB 28 September 2001. Resolusi tersebut meminta semua negara untuk segera bekerjasama dalam mencegah dan menekan tindakan teroris melalui peningkatan kerjasama dan pelaksanaan penuh konvensi Internasional yang berkaitan dengan terorisme.

2. Pemberlakuan Surut (Asas Retroaktif) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003.
Dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terdapat beberapa ketentuan yang menjadi perdebatan di beberapa kalangan, baik aparat penegak hukum, pakar hukum maupun di lingkungan akademisi karena dianggap menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Hal yang dianggap menyimpang diantaranya mengenai pemberlakuan surut (Asas Retroaktif) Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini.
Pemberlakuan Asas Retroaktif bertentangan dengan makna non derogable principle pasal 28 huruf I angka (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (Asas Retroaktif) adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Jadi kondisi darurat apapun tidak memberikan justifikasi untuk memberlakukan produk Undang-Undang untuk berlaku surut[30]. Selain itu, pemberlakuan Asas Retroaktif ini juga bertentangan dengan ketentuan Asas Legalitas yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dalam bahasa Latin dirumuskan sebagai “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, yang artinya tidak ada tindak pidana tanpa terlebih dahulu diadakan ketentuan[31], dimana tidak ditentukan pengecualian terhadap asas ini. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh justisiabel (aparat penegak hukum)[32].
Berikut beberapa pendapat para ahli hukum yang memberikan tanggapan atas pemberlakuan Asas Retroaktif Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 :

4. Menurut Indriyanto Seno Adji, substansi pasal 46 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan membuka peluang diberlakukannya undang-undang ini untuk menangani kasus yang terjadi sebelum undang-undang ini disahkan, bukan hanya berlaku bagi penyelesaian kasus Bom Bali, ini melanggar prinsip hukum pidana[33].

5. Menurut Prof Jimly Ashiddiqie, secara teoritis, pasal 46 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan pasal 28 huruf I angka (1) Undang-Undang Dasar 1945, karena baru mengikat bila telah ditetapkan oleh Hakim dalam sidang acara Judicial Review, dan harus memperhatikan konvensi internasional[34] dan prinsip-prinsip hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa beradab yang berkenaan dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat[35].

6. Menurut Abdulgani Abdullah, Direktur Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusi, bahwa secara teoritis pemberlakuan surut suatu undang-undang memang dimungkinkan sesuai dengan asas keseimbangan keadilan (balance of justice), karena terorisme merupakan crimes against humanity[36].

7. Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, karena tindak pidana terorisme tergolong crimes against humanity, maka dalam hukum pidana internasional tidak diakui Asas Legalitas, sebaliknya, Asas Retroaktif (berlaku surut) dapat diberlakukan[37].

8. Menurut Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang disampaikan pada tanggal 18 Oktober 2002, menyatakan bahwa pengaturan pasal 28 huruf I angka 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), dibatasi dengan ketentuan pasal 28 huruf J angka 2 UUD’45[38]. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada dasarnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini tidak dapat diberlaku-surutkan, namun mengingat sifat terorisme yang luar biasa (extra ordinary crime) dan tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta demi keadilan (balance principle of justice) dan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana dimaksud pasal 28 huruf J angka 2 UUD’45, maka undang-undang ini dipandang perlu untuk diberlaku-surutkan. Selanjutnya pemberlakuan surut ini, hanya terbatas untuk diterapkan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap para pelaku peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 dan tidak untuk kasus-kasus lain yang menjadi ruang lingkup dalam pengaturan Perppu Nomor 1 tahun 2002 yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[39]. Bagi kasus lain yang terjadi sebelum berlakunya Perppu tersebut diluar peristiwa Bom Bali, dikenai ketentuan dalam KUHP, KUHAP dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1951 tentang Senjata Api serta ketentuan lain yang berlaku.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, maka lebih lanjut dapat diambil suatu pemahaman bahwa pasal 46 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak bertentangan dengan pasal 28 huruf I angka (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain karena adanya pembatasan sebagaimana diatur pasal 28 huruf J angka 2 UUD’45, demi keadilan (balance principle of justice), dan oleh karena sifat tindak pidana terorisme yang khusus dan luar biasa, seperti ketentuan Hukum Pidana Internasional, maka Asas Retroaktif dapat diberlakukan. Sebaliknya dalam hal ini, Asas Legalitas tidak dapat diberlakukan.


3. Ketentuan hukum yang bersifat Materiil dan Formil dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
a. Ketentuan Materiil
Ketentuan hukum yang bersifat materiil yang terdapat dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, adalah:
a. Ketentuan dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, pasal 1 dan pasal 2.
Pasal 1 berisi batasan-batasan pengertian dari istilah yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan ini. Sedangkan pasal 2 menyebutkan tentang tujuan pembentukan peraturan ini, yaitu sebagai kebijakan dan langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat dengan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.

b. Ketentuan dalam Bab II Lingkup Berlakunya Undang-Undang ini, pasal 3, 4 dan 5.
Pasal 3, 4 dan 5 menjelaskan mengenai yurisdiksi keberlakuan Undang-Undang ini.

c. Ketentuan dalam Bab III tentang Tindak Pidana Terorisme, pasal 6 sampai 19.
Pasal 6 sampai 19, menjelaskan secara spesifik mengenai tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana terorisme.

d. Ketentuan dalam Bab IV tentang Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, pasal 20 sampai 24.

b. Ketentuan Formil
Ketentuan hukum yang bersifat formil adalah ketentuan yang merupakan hukum acara, untuk melaksanakan ketentuan materiil yang telah diatur sebelumnya. Merupakan hukum acara yang diterapkan dalam menindaklanjuti suatu kasus yang dalam hal ini merupakan tindak pidana terorisme. Dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang merupakan ketentuan formil adalah:
a. Ketentuan dalam Bab V tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, pasal 25 sampai 35.
Pada bagian ini dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini, terdapat ketentuan-ketentuan yang menjadi polemik, seperti pasal 29 tentang pembekuan asset yang diduga sebagai asset untuk mendukung tindak pidana terorisme, pasal pasal 28 tentang penangkapan selama 7X24jam, pasal 27 tentang alat bukti serta pasal 26 tentang laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Namun yang dibahas dalam penelitian ini hanya mengenai ketentuan pasal 26 tentang laporan intelijen sebagai bukti permulaan.

b. Ketentuan dalam Bab VI tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, pasal 36 sampai 42.

c. Ketentuan dalam Bab VII tentang Kerjasama Internasional, pasal 43.

d. Ketentuan dalam Bab VIII tentang Ketentuan Penutup.


INTELIJEN
A. Pengertian Intelijen
Pengertian yang paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itulah dapat diinterpretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[40]. Beberapa pengertian etimologis tentang intelijen, adalah:
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, cetakan ke-3, halaman 335[41]:

- Inteligen = mempunyai atau menunjukkan tingkat kecerdasan yang tinggi, berpikiran tajam, cerdas, berakal.
- Inteligensi = daya membuat reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalaman-pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru; kecerdasan.
- Intelijen = orang-orang yang bertugas mencari keterangan (mengamat-amati) seseorang; dinas rahasia.


2. Menurut Ensiklopedia Indonesia, volume 3 oleh Tim Perumus, PT.Ichtiar Baru-van hoeve; Jakarta, halaman 1462[42]:
- Intelijen adalah bagian dari angkatan bersenjata yang bertugas menjaga dan menjamin kepentingan-kepentingan negara terhadap unsur-unsur yang ingin merugikan kepentingan tadi, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. Dengan perubahan sifat perang modern menjadi perang total, tugas badan intelijen kini tidak hanya terbatas dibidang kemiliteran, ekonomi, social, politik dan sebagainya.

- Tugas intelijen meliputi:
1) mengumpulkan bahan dan keterangan dari berbagai lapangan untuk mengetahui kekuatan negara-negara lain atau negara yang mungkin mengadakan penyerangan;
2) mengupas dan menguji kebenaran atau ketidak benaran keterangan tersebut;
3) berdasarkan 1) dan 2) mengusulkan tindakan-tindakan atau persiapan untuk menghadapi setiap kemungkinan. Kegiatan intelijen dapat dilakukan secara sah(terang-terangan), dengan cara menempatkan perwakilan diplomatik, atase militer dan sebagainya; atau secara tidak sah(dengan terselubung dan tersembunyi) dengan kegiatan mata-mata, spionase.


3. Menurut ringkasan pengertian definisi intelijen dalam buku Intelijen, Pengertian dan Pemahamannya[43]. Intelijen adalah perkiraan, merupakan informasi terpercaya untuk digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan.

4. Menurut Jend Pol (Purn) Drs. Kunarto, MBA[44].
- Intelijen sebagai bahan keterangan yang sudah diolah (intel sebagai produk) adalah suatu hasil akhir atau produk dari pengolahan bahan-bahan keterangan tentang berbagai penyusunan masalah yang dipergunakan sebagai bahan penyusunan rencana penentuan kebijaksanaan pengambilan keputusan atau tindakan.
- Intelijen sebagai organisasi adalah badan atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan intelijen.
- Intelijen sebagai kegiatan adalah penyelenggaraan fungsi-fungsi intelijen berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan yang mencakup pengertian kegiatan yang bersifat terus-menerus dan kegiatan yang bersifat operasi intel, yaitu kegiatan intelijen yang dilakukan secara selektif terhadap sasaran-sasaran tertentu atas dasar perintah dari pimpinan yang berwenang dan dalam batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
- Kesimpulannya, intelijen merupakan usaha kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan metode-merode tertentu dan secara terorganisir untuk mendapatkan pengetahuan tentang masalah-masalah yang akan dihadapi kemudian disajikan kepada pimpinan sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan atau tindakan atau perumusan kebijaksanaan.


5. Menurut AC Manullang[45].
Intelijen adalah produk yang dihasilkan dari usaha pengumpulan, penilaian, analisis, pengintegrasian, dan penafsiran terhadap semua informasi yang tersedia berkaitan dengan satu atau beberapa aspek negara asing (negara akreditasi) atau daerah operasi, dimana informasi tersebut secara langsung bermanfaat bagi pengembangan dan pelaksanaan rencana, kebijaksanaan dan operasi lebih lanjut.

6. Menurut Mulyo Wibisono[46].
Intelijen adalah suatu hasil pengolahan dari informasi yang telah dipilih, dievaluasi dan diinterpretasikan menjadi sesuatu yang bermakna bagi masalah kebijakan nasional yang sedang berjalan.

Jadi, hakekat intelijen adalah kegiatan atau produk dari suatu kegiatan yang dilakukan secara rahasia. Berdasarkan rumusan hakekat intelijen tersebut dan pendapat dari para ahli, maka pengertian intelijen disini, meliputi:
a. Kemampuan untuk memecahkan masalah.
b. Suatu badan yang erat kaitannya dengan Angkatan Bersenjata, yang bertugas mencegah dan mengatasi suatu keadaan yang dianggap membahayakan negara/kepala negara.
c. Suatu kegiatan yang dilakukan secara rahasia, untuk memperoleh data/fakta mengenai suatu hal tertentu.
d. Produk itu sendiri, yang berupa informasi terpercaya, sebagai hasil dari kegiatan yang dilakukan secara rahasia.

B. Kegiatan Intelijen
Intelijen dilakukan melalui kegiatan mencari, mengumpulkan data; mengolah dan mengamankan organisasi dan informasi; serta pengkondisian agar diperoleh suasana yang menguntungkan organisasi, dengan melakukan penggalangan[47]. Sedangkan proses kegiatan intelijen meliputi[48]:
a. Pengumpulan data intelijen, yang dikumpulkan dari 2 sumber utama, yaitu sumber yang terbuka dan sumber tertutup.
b. Evaluasi dan interpretasi dan produksi dalam bentuk laporan kepada pengambil keputusan, berupa laporan deskriptif dasar, laporan penting, atau perkiraan spekulatif.



Pengumpulan bahan intelijen yang dilakukan dalam kegiatan intelijen terdiri dari 5 tahap, yaitu[49]:
1) Menyusun pertanyaan, apa yang ingin diketahui untuk dipakai sebagai bahan pengambilan keputusan, untuk ditentukan kebutuhan konkretnya.
2) Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dengan menentukan dimana dan dari siapa suatu informasi yang paling tepat dapat diperoleh.
3) Produksi intelijen, dimana kumpulan data kasar dibentuk, dievaluasi, disusun, diperiksa dan dibandingkan untuk dijadikan jawaban terbaik atas pertanyaan awal.
4) Mengkomunikasikan pemrosesan informasi dengan pengambilan keputusan agar benar-benar bermanfaat, informasi harus disajikan tepat waktu, akurat dan mudah dipahami.
5) Penggunaan intelijen. Pengambil keputusan dapat mengabaikan informasi yang disajikan, atau menggunakan informasi yang diperolehnya sebagai dasar pengambilan tindakan selanjutnya.

Tabel Proses Intelijen dalam rumusan tindakan:


1. PERENCANAAN


A. Proses: a. mengarahkan; (1) bahan keterangan (Baket) apa yang harus dikumpulkan. (2) kapan/berapa lama harus selesai. (3) bagian siapa (yang sesuai) yang harus melaksanakan. b. rumusan; tuangkan arahan dalam perintah dan permintaan atau penugasan. c. penugasan; cara bertindak-pengamatan-penyelidikan-terbuka atau tertutup dan sebagainya. Termasuk penugasan tentang unsur-unsur keterangan (UUK)nya.

B. UUK: a. rumuskan; UUK dalam pertanyaan-pertanyaan, dimana dapat diperoleh dan seterusnya. b. tegaskan; batas waktu, kemampuan bertindak, termasuk pesan-pesan khusus yang harus diperhatikan.




2. PENGUMPULAN


A. Cara bertindak (CB): a. penelitian; (1) lakukan secara terpusat, (2) cara; studi pustaka, pelajari pemberitaan (cetak/elektronik), wawancara, interogasi, kegiatan riset. b. pengamatan (1) langsung ditempat kejadian, (2) tak langsung, dengan alat-alat penginderaan jarak jauh, radar, kamera udara/AWACS, satelit, radio, dan lain-lain. c. deteksi; gunakan alat-alat deteksi-pemancar gelap, radiasi, getaran nuklir-penyadapan pembicaraan dan lain-lain. d. penyusupan; pengamatan tertutup secara langsung/tidak langsung.

B. sarana; a. badan-badan pengumpul organic rutin. b. badan-badan pengumpul atas perintah. c. badan-badan non organic atas permintaan sesuai kebutuhan.




3. PENGOLAHAN


Proses: baket yang banyak dan mentah-diolah-ditransformasikan menjadi produk melalui a. pencatatan; dilakukan dengan tekun dengan lembaran kerja yang disiapkan-sistematis dalam penyimpanan, yang memudahkan analisa yang terintegrasi. b. penilaian; diberi klasifikasi A1, B2, A2, dst. c. analisa d. diintegrasikan-dipadukan dengan beberapa baket lain. e. disimpulkan lalu f. ditafsirkan; guna menghasilkan informasi yang matang.




4. PENYAMPAIAN PENGGUNAAN


Proses: a. penyampaian; dalam bentuk (1) perkiraan keadaan (2) pertimbangan situasi (3) laporan. b. penggunaan; oleh penerima digunakan untuk (1) menilai keadaan yang dihadapi (2) penyimpulan kekuatan dan kelemahan sendiri dan lawan. (3) perhitungan pengambilan langkah tindakan. c. laporan, dalam bentuk laporan dapat dibagi dalam (1) laporan kilat, mendesak untuk segera diketahui (2) berkala, bersifat rutin (3) ringkasan, jurnal informasi penting dari laporan berkala (4) khusus, laporan suatu masalah khusus dengan biasanya ditutup dalam pendapat penyusunan.




5. PENYIMPANAN DOKUMENTASI


Proses: Baket yang sudah dianalisa dan dimanfaatkan disimpan/didokumentasikan secara sistematis dalam dosier-dosier yang telah ditetapkan (biasanya digunakan indeks tertentu) agar mudah dicari. Baket juga harus disimpan dengan system keamanan yang handal agar tidak digunakan oleh orang yang tidak berkepentingan. setiap keanehan yang terjadi harus dilaporkan.



Keterangan:
1-3 : Kegiatan Intelijen
4-5 : Kegiatan yang berkaitan dengan Produk Intelijen.

(disalin dari buku Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, Kunarto, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal 164.)


C. Produk Intelijen
Tahapan untuk menghasilkan suatu produk intelijen meliputi kegiatan[50]:
1. Perencanaan, meliputi:
a. Pemberian arahan kepada kegiatan penyelidikan dalam bentuk perintah/permintaan dilakukannya penyelidikan secara terbuka atau tertutup.
b.Bahan keterangan apa yang harus dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan.
c. Harus selesai tepat waktu.
d.Badan pengumpul keterangan mana yang digunakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

2. Pengumpulan informasi/keterangan:
a. Secara terbuka atau tertutup.
b. Cara penelitian, pengamatan, deteksi, penyusupan Badan pengumpul keterangan.
c. Badan Pengumpul keterangan organik berada dibawah komando langsung mengumpulkan keterangan atas perintah.
d. Badan pengumpul keterangan non organik dan Badan pengumpul keterangan lain bekerja sesuai permintaan.

3. Pengolahan:
Proses pengolahan meliputi:
Pencatatan – penilaian – analisa – integrasi - kesimpulan dan penafsiran. Sehingga bahan keterangan yang pada mulanya masih merupakan bahan mentah ditransformasikan menjadi Produk intelijen.



Sebagai hasil dari proses kegiatan Intelijen tersebut, diperoleh suatu hasil, yaitu Laporan Intelijen. Pada umumnya laporan intelijen dikategorikan kedalam 2 karakteristik, yaitu berdasarkan ketelitian sumber berita, dan berdasarkan ketelitian informasi. Berdasarkan sumber berita, terdiri dari beberapa tingkatan yaitu[51]:
1. A = sangat dipercaya
2. B = dapat dipercaya
3. C = Biasanya dapat dipercaya
4. D = Diragukan/biasanya tidak dapat dipercaya
5. E = Tidak dapat dipercaya
6. F = Kepercayaannya tidak dapat dinilai

Sedangkan berdasarkan ketelitian informasi, terdiri dari:
1. 1 = Berita yang dibenarkan dengan adanya berita serupa
2. 2 = Beritanya mengandung kebenaran
3. 3 = Beritanya kemungkinan mengandung kebenaran
4. 4 = Kebenaran berita diragukan
5. 5 = Kebenaran berita tidak dapat dinilai

Laporan intelijen yang mempunyai kualifikasi sangat dapat dipercaya dan dianggap sahih adalah laporan intelijen kualifikasi A1 dan A2. Pengertian laporan intelijen kualifikasi A1 adalah laporan intelijen yang diperoleh dari sumber yang sepenuhnya dipercaya dan kebenarannya diperkuat dengan adanya bukti lain. Sedangkan laporan intelijen dengan kualifikasi A2 adalah laporan intelijen yang diperoleh dari sumber yang biasanya dapat dipercaya dan tingkat kebenaran laporannya sangat mungkin benar.

D. Tujuan Kegiatan Intelijen
Kegiatan intelijen ditujukan untuk menghasilkan suatu produk intelijen berupa laporan intelijen yang mempunyai nilai keakuratan tinggi setelah melalui proses pengolahan dan analisa secara komprehensif yang dilakukan oleh suatu badan resmi yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan oleh Pemerintah. Keputusan Pemerintah atas laporan intelijen mempunyai 2 (dua) fungsi. Fungsi preventif ditujukan untuk upaya pencegahan yang meliputi bagaimana seandainya terjadi suatu peristiwa dan menentukan langkah yang tepat untuk menangani peristiwa tersebut. Selanjutnya, fungsi represif yang menitik beratkan pada upaya penyelesaian yang meliputi tindakan-tindakan konkret yang harus secepatnya diambil agar suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dapat diselesaikan secepatnya.


LAPORAN INTELIJEN SEBAGAI BUKTI PERMULAAN
A. Pengertian Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan
Pada bab ini, akan dibahas laporan intelijen dalam kaitannya dengan bukti permulaan (probable cause). Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu ketentuan dalam undang-undang dan sumber-sumber lain di luar undang-undang yang berisi ketentuan yang memiliki hubungannya dengan bukti permulaan, sehingga dapat berguna sebagai rujukan untuk memahami apa yang dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:

1. Ketentuan menurut undang-undang.
a. Menurut pasal 1 butir 14 KUHAP, menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang baru dapat diduga sebagai tersangka sehingga dapat dilakukan penangkapan atas dirinya, berdasarkan adanya bukti permulaan. Penyidik harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti permulaan, untuk kemudian dapat menjatuhkan dugaan terhadap seseorang tersebut. Artinya, harus terdapat cukup bukti dan fakta yang diperoleh dari informasi yang sangat dapat dipercaya untuk menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti bukan sekedar konklusi[52]. Mengenai apakah bukti permulaan yang cukup itu, pembentuk undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.

b. Menurut Pasal 17 KUHAP, menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan ketentuan pasal 17 KUHAP, maka perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sebelum akhirnya mencari lebih lanjut mengenai pengertian bukti permulaan, sebaiknya dilakukan penafsiran secara otentik, yang artinya penafsiran suatu undang-undang sesuai dengan penjelasan-penjelasan atau peraturan-peraturan yang terdapat dalam undang-undang itu sendiri[53]. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14 KUHAP. Pengertian ini tidak jelas karena hanya merupakan pengulangan kata bukti permulaan tanpa menjelaskan arti kata tersebut. Menurut Darwan Prinst, dari ketentuan pasal 17 KUHAP, bukti permulaan dapat diartikan sebagai bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya suatu tindak pidana[54].

Jika pengertian ketentuan penjelasan Pasal 17 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP maka bukti permulaan dapat diartikan sebagai suatu nilai bukti yang telah mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai tersangka, dimana bukti yang diperoleh penyidik telah bersesuaian dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang tersebut[55].

c. Menurut rumusan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pengertian bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme[56]. Sebagaimana pengertian yang dirumuskan dalam KUHAP, perumusan tersebut pun tidak jelas karena juga merupakan pengulangan kata bukti permulaan, tanpa menjelaskan apa sebenarnya pengertian kata tersebut.

2. Doktrin, Yurisprudensi dan sumber-sumber lain diluar Undang-Undang.
a. Menurut Lamintang, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatakan bahwa bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP[57] yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan[58].

b. Menurut Yahya Harahap, yang paling rasional, adalah bila perkataan “permulaan” dibuang, sehingga akan didapat pengertian yang serupa dengan pengertian yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan harus didasarkan pada affidavit dan testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian[59]. Jika ditelaah lebih lanjut uraian diatas, bukti permulaan yang cukup menurut Hukum Acara Pidana Amerika Serikat, mempunyai kemiripan pengertian dengan rumusan ketentuan pasal 183 KUHAP[60], yang menganut prinsip batas minimal pembuktian, yaitu sekurangnya 2(dua) alat bukti, bisa terdiri dari 2 orang saksi, dan bukti lain[61].

c. Menurut Pengadilan Negeri Sidikalang-Sumatera Utara, melalui penetapan No.4/Pred-Sdk/1982 tanggal 14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup haruslah mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, bukan yang lain-lainnya seperti laporan polisi dan lainnya[62]. Menurut Yurisprudensi ini, untuk menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup tidak merupakan dan tidak termasuk salah satu alat bukti yang disebutkan dalam pasal 184 KUHAP, namun lebih merupakan informasi untuk mengusut daripada sebagai alat bukti yang memberi dugaan keras telah melakukan tindak pidana[63].

d. Menurut Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. Pol. SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982, bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam 2(dua) diantara laporan polisi, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Tempat Kejadian Perkara (TKP), laporan hasil penyelidikan, keterangan saksi/saksi ahli dan barang bukti, yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan[64].

e. Menurut Rapat Kerja (Mahkamah Agung-Kehakiman-Kejaksaan-Polisi (MAKEHJAPOL) I tanggal 21 Maret 1984, bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya[65].

Mengenai pengertian bukti permulaan menurut MAHKEJAPOL ini, telah dipakai sebagai dasar pengertian oleh POLRI dalam melakukan penangkapan terhadap pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Abubakar Ba’asyir. Jadi dalam kasus tersebut, POLRI menggunakan laporan intelijen dan keterangan saksi, sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan. Menurut Tim Penasehat Hukum Abubakar Ba’asyir dan menurut pendapat beberapa ahli hukum lainnya, bahwa bukti permulaan yang didasarkan Keputusan MAHKEJAPOL bukan merupakan dasar hukum karena berdasarkan tata urutan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Ketetapan (Tap) MPR RI Nomor III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, tidaklah mencantumkan Keputusan MAHKEJAPOL sebagai dasar hukum[66]. Sedangkan menurut Ketua Tim Pembela POLRI, Komisaris Besar Polisi Soeyitno menyatakan bahwa MAHKEJAPOL bisa dijadikan dasar hukum apabila dasar hukum lain mengalami kebuntuan. Mengenai hal ini, Loebby Loqman menjelaskan, bahwa MAHKEJAPOL dibuat, untuk mencari kesepakatan diantara para pelaksana KUHAP, dengan jalan memberikan pengertian terhadap hal-hal yang dirasakan kurang jelas dalam pasal yang termuat dalam KUHAP. Padahal, untuk mencari kejelasan mengenai ketentuan dalam KUHAP, seharusnya para pelaksana peradilan pidana mengutamakan panafsiran sejarah, baik sejarah hukum maupun sejarah undang-undang. Bukan dengan cara menafsirkan sesuai kepentingan lembaga masing-masing[67].


Jika dilihat mengenai penggunaan istilah hukum bukti permulaan antara KUHAP dengan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
adalah berbeda[68]. Perbedaan pengertian antara kedua undang-undang tersebut adalah bahwa dalam KUHAP, bukti permulaan yang cukup adalah sebagai syarat untuk melakukan tindakan upaya paksa penangkapan, dan bersumber dari laporan atau pengaduan ditambah dengan satu dari keterangan terdakwa, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Tempat Kejadian Perkara atau barang bukti, sedangkan menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bukti permulaan yang cukup sebagai syarat untuk melakukan penyidikan, bersumber dari suatu yang dapat diperoleh dengan mempergunakan laporan intelijen[69].
Ketidakpastian pengertian mengenai bukti permulaan ini melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda, dan ini menjadi berbahaya terutama jika penafsiran digunakan untuk melindungi suatu kepentingan pihak tertentu, sehingga lebih lanjut menyebabkan ketidakpastian hukum. Untuk memperoleh pengertian yang paling mendekati kebenaran, atau setidaknya tidak berpihak pada kepentingan pihak-pihak tertentu, maka dapat dilakukan bermacam bentuk penafsiran seperti yang terdapat dalam teori hukum pidana. Dalam hal ini, untuk memperoleh pengertian tentang bukti permulaan, dapat dicari pengertian melalui penafsiran logis[70] berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut.
Dalam penelitian hukum ini, penulis melihat bahwa pengertian bukti permulaan yang lebih banyak dipakai dan cukup mempunyai dasar pemikiran yang kuat berdasarkan penafsiran logis, sebagaimana penafsiran logis yang dilakukan oleh Yahya Harahap seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil pengertian bukti permulaan merupakan batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka persidangan sesuai ketentuan pasal 183 KUHAP dengan alat bukti seperti ditentukan pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Di tengah kesimpangsiuran pengertian bukti permulaan, Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Sama halnya dengan bukti permulaan, maka mengenai laporan intelijen, sejauh ini pun, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengertiannya, selain Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada pasal 26 ayat 1, dinyatakan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
Jika dipakai pengertian berdasarkan penafsiran logis seperti yang dilakukan oleh Yahya Harahap pada pasal 183 dan 184 ayat 1 KUHAP, maka laporan intelijen yang diatur pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan penyimpangan dari ketentuan dalam KUHAP tersebut, karena laporan intelijen tidak termasuk dalam satu pun dari 5 (lima) alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sehingga, lebih lanjut dapat dipahami bahwa karena laporan intelijen yang diatur dalam pasal 26(1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bukanlah merupakan bukti permulaan. Artinya, pada dasarnya, ketentuan pasal tersebut merupakan penyimpangan dari asas umum hukum acara pidana. Namun, pembentuk undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dalam mensosialisasikan undang-undang tersebut, mempergunakan alasan bahwa karena sifat yang khusus dan luar biasa dari kasus tindak pidana terorisme, maka pengaturan khusus yang dituangkan dalam undang-undang khusus, dimungkinkan, sehingga laporan intelijen sebagai bukti permulaan dapat diberlakukan dalam kasus tindak pidana terorisme.
Perlu diingat bahwa untuk mengkaji pengertian laporan intelijen sebagai bukti permulaan menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perlu dilihat pula ketentuan dalam KUHAP. Pada hakekatnya laporan intelijen mempunyai kedudukan yang sama dengan informasi/keterangan lain yang diperlukan oleh penyelidik untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 5 KUHAP. Nilai kebenaran serta keakuratan laporan intelijen berbeda-beda karena terdapat beberapa kualifikasi (sebagaimana telah diuraikan pada bab 3 sub c tentang produk intelijen) dan masih memerlukan kajian/pengujian tentang kebenaran dari laporan tersebut, oleh karena itu laporan intelijen hanya dapat dipakai sebagai informasi/keterangan yang diperlukan oleh penyelidik sebagaimana pasal 5 ayat 1 huruf a angka 2 KUHAP[71]. Karena laporan intelijen hanya berperan sebagai keterangan untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan dalam proses penyelidikan, maka laporan intelijen tidak mempunyai nilai sebagai bukti dalam tahap penyidikan. Artinya, penggunaan laporan intelijen tidak boleh melebihi porsinya sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan proses penyelidikan yang hasilnya digunakan untuk melakukan penyidikan. Dalam prakteknya seringkali Laporan intelijen justru langsung ditindaklanjuti dengan tindakan konkret misalnya dengan melakukan penangkapan.
Jika laporan intelijen dianggap sebagai bukti permulaan, masih terdapat pertanyaan, laporan intelijen seperti apakah yang layak dan valid untuk dijadikan sebagai bukti permulaan. Mengenai apakah pengertian laporan intelijen itu, berikut ketentuan undang-undang dan pendapat beberapa ahli hukum:
a. Menurut Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dimaksud dengan laporan intelijen, adalah laporan yang didasarkan atas fakta-fakta yang memuat:

1) nama dan identitas orang-orang yang disangka melakukan atau terlibat dalam tindak pidana terorisme.
2) tempat dan tanggal kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut;
3) keterkaitan orang-orang yang disangka tersebut dengan pihak-pihak lain[72].

b. Menurut penjelasan pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional[73]. Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak dijelaskan mengenai klasifikasi laporan intelijen yang manakah dari kualifikasi di atas yang bisa diterapkan sebagai bukti permulaan untuk melakukan penahanan[74]. Dalam ketentuan penjelasan pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya dijelaskan bahwa laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI-ABRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan instansi lain yang terkait[75].

c. Menurut Romli Atmasasmita, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Terorisme, laporan intelijen adalah fakta-fakta, peristiwa atau nama, bukan pendapat atau analisa. Laporan intelijen yang dapat dijadikan sebagai bukti permulaan adalah laporan intelijen yang telah diotentifikasi oleh Badan Intelijen Negara Negara (BIN). Laporan intelijen itu diperbaiki sedemikian rupa sehingga lebih jelas bagi pelaksana-pelaksana di lapangan bahwa laporan intelijen itu sebagai bukti permulaan sebagai awal untuk dimulainya penyelidikan kalau Polisi mau menggunakan laporan intelijen tersebut[76]. Selain itu, perintah pengadilan kepada polisi untuk melakukan penyelidikan adalah penetapan bukan vonis. Tidak dijelaskan mengenai dasar pemikiran mengapa suatu laporan intelijen harus mendapat otentifikasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), padahal dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak disyaratkan demikian.

d. Menurut Yusril Ihza Mahendra, yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan dari satu pintu, yakni Badan Intelijen Negara (BIN), dengan ketentuan yakni tidak semua laporan BIN dapat menjadi bukti permulaan, melainkan hanya kualifikasi A1 dan A2 yang telah diotentifikasi oleh Kepala Pengadilan[77]. Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa laporan intelijen yang berasal dari instansi selain Badan Intelijen Negara (BIN), tidak dapat disebut sebagai laporan intelijen, kecuali jika laporan dari instansi lain tersebut memenuhi kualifikasi A1 atau A2 dan diserahkan kepada Badan Intelijen Negara (BIN), selanjutnya diotentifikasi oleh Kepala Pengadilan Negeri. Jadi jika dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka laporan intelijen yang dapat bersumber dari berbagai instansi seperti diatur pada pasal 26, harus melalui Badan Intelijen Negara (BIN) sebelum masuk dalam proses/mekanisme hearing di Pengadilan Negeri.

e. Menurut Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, satu-satunya sumber laporan intelijen yang akan dipertimbangkan sebagai bukti permulaan oleh Pengadilan Negeri adalah Badan Intelijen Negara (BIN), dimana BIN dapat memperoleh laporan tersebut dari berbagai pihak[78].

Berdasarkan pengertian dari ketentuan undang-undang serta pendapat beberapa ahli hukum, dapat diambil suatu pemahaman bahwa laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional bersumber dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI-ABRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan instansi lain yang terkait, berupa laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2 yang telah diotentifikasi oleh Badan Intelijen Negara Negara (BIN).
Pemberlakuan laporan intelijen sebagai bukti permulaan menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mendapat banyak tanggapan dari beberapa pihak, antara lain:

1. Menurut akademisi Saldi Isra, laporan intelijen tidak sejalan dengan pasal 6 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa tidak seorangpun dihadapkan di Pengadilan tanpa alat pembuktian yang sah menurut undang-undang[79].

2. Menurut Rachland Nashidik, Direktur The Indonesian Human Rights Monitor, bahwa pemberlakuan ketentuan yang mengizinkan laporan intelijen sebagai bukti permulaan bagi kegiatan pro justicia membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang Badan Intelijen bagi kepentingan politik pemerintah karena mengizinkan intervensi Badan Intelijen non judicial ke dalam kehidupan penegakan hukum[80].

3. Menurut penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), bahwa pengertian laporan intelijen dalam pasal 26 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sangat luas dan multi interpretasi, sehingga akan mudah direkayasa serta dimanipulasi. Pendefinisian yang sangat kabur tidak dapat dijadikan acuan operasional[81].

4. Menurut Todung Mulya Lubis, bahwa tindakan aparat penegak hukum yang dilakukan berdasarkan pada laporan intelijen semata, mengancam hak individual dari orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme[82].

5. Menurut Indriyanto Seno Adji, intelligence evidence tercakup dalam pengertian crime evidence, namun tidak selalu merupakan crime evidence. Intelligence evidence merupakan abstraksi data yang seringkali tidak membutuhkan fakta hukum dan pembuktian untuk merumuskan suatu perbuatan sebagai dasar adanya indikasi tindak pidana, sedangkan crime evidence memerlukan suatu fakta hukum yang konkret[83].

Selain itu, ketentuan tentang laporan intelijen pada pasal 26 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus berkaitan dengan pasal 27 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mengatur ketentuan tentang alat bukti dalam perkara terorisme, dimana ketentuan tersebut masih mengacu kepada ketentuan KUHAP. Oleh karena itu, laporan intelijen harus diartikan sebagai supporting evidence saja dari alat bukti yang cukup, yaitu 2 (dua) alat bukti minimal sebagaimana disyaratkan pasal 21 KUHAP[84] jo pasal 184 KUHAP.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa mengenai pemberlakuan ketentuan mengenai laporan intelijen sebagai bukti permulaan ini, terdapat banyak pendapat dari para ahli hukum (doktrin) yang memiliki bermacam penafsiran pengertian yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaanya. Jika dalam pelaksanaan masih terjadi kesimpangsiuran akibat silang pendapat, maka hal ini dapat berdampak buruk. Oleh karena itu dari berbagai doktrin tersebut dapat diambil intisari, kemudian dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah, sehingga pada saat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, tidak lagi terdapat pertentangan dan lebih lanjut dapat dicapai kepastian hukum, keseimbangan kepentingan publik serta Hak Asasi Manusia dapat lebih terjamin.
B. Syarat sahnya Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menjelaskan mengenai persyaratan laporan intelijen seperti apa yang dianggap sah sebagai bukti permulaan. Dalam ketentuan pasal 26 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya menjelaskan tentang laporan dari instansi mana saja yang dapat dipakai sebagai laporan intelijen. Pada prakteknya, aparat penegak hukum menentukan sendiri kualifikasi laporan intelijen yang dapat dipakai sebagai bukti permulaan, yaitu laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2.
Mengacu pada ketentuan yang diatur pada pasal 184 ayat 1 KUHAP, seperti telah diuraikan diatas, maka laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2 sekalipun, yang merupakan laporan yang dianggap paling akurat dan sangat dapat dipercaya, tidak termasuk dalam satupun dari alat bukti yang sah. Sehingga laporan intelijen, tidak dapat dijadikan sebagai bukti permulaan. Namun mengenai laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2 tersebut, dalam kasus tindak pidana terorisme dapat dijadikan sebagai bukti permulaan bila telah melalui proses/mekanisme hearing, yang dilakukan secara tertutup selama 3 hari, selanjutnya dituangkan dalam Penetapan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang selanjutnya memerintahkan untuk dilakukan penyidikan.


C. Mekanisme Hearing untuk menentukan Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dalam penyelesaian kasus Tindak Pidana Terorisme.
Untuk menentukan apakah suatu laporan intelijen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan, maka pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan suatu mekanisme atau proses pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari dan dalam pemeriksaan tersebut ditetapkan bahwa laporan intelijen yang telah diperiksa tersebut dapat dinyatakan sebagai bukti permulaan adanya bukti permulaan yang cukup, selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilakukannya penyidikan. Dalam penjelasan pasal 26 ayat 3 Rancangan Undang-Undang Antiterorisme, mekanisme tersebut dinamakan sebagai lembaga “hearing”. Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi laporan intelijen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menyatakan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik “dapat” menggunakan setiap laporan intelijen. Berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh pengertian bahwa proses pemeriksaan tersebut dapat dilakukan terhadap dokumen laporan intelijen maupun dokumen selain laporan intelijen. Dokumen selain laporan intelijen dapat berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keterangan saksi, BAP keterangan ahli, BAP keterangan tersangka atau terdakwa, BAP barang bukti, BAP di Tempat Kejadian Perkara (TKP)[85].
Selanjutnya, dalam mekanisme tersebut, tidak dijelaskan bagaimana seandainya laporan intelijen tersebut ditolak sebagai Bukti Permulaan oleh Ketua/Wakil ketua Pengadilan Negeri, tetapi Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri mungkin saja menolak laporan intelijen yang disampaikan kepadanya untuk awal penyidikan. Jika laporan intelijen tersebut ditolak, maka laporan intelijen tersebut tetap disimpan menjadi rahasia negara. Dalam hal ini Penyidik tidak dapat melanjutkan untuk melakukan penyidikan, kecuali terdapat bukti atau data selain laporan intelijen yang dapat dipakai untuk memperkuat suatu fakta sehingga dibutuhkan untuk dilakukan penyidikan[86].
Mengingat makna terorisme ini merupakan isu yang sensitif terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia, menurut Indriyanto Seno Adji, peran Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri terhadap laporan intelijen sebagai supporting evidence lebih akseptabel sifatnya karena institusi Peradilan sebagai examinating judge menjadi fungsi kontrol untuk menentukan absah tidaknya laporan intelijen tersebut sebagai bukti pendukung dimulainya penyidikan kasus terorisme dan fungsi peradilan ini untuk menghindari suatu penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum atas penyelesaian kasus terorisme[87]. Sedangkan menurut Tim The Indonesian Human Rights Monitor, mekanisme ini merupakan bagian dari mekanisme pre trial yang diadopsi dari sistem Anglo Saxon tanpa mengadopsi sistem peradilannya, sehingga justru dapat meniadakan hak-hak untuk mengajukan keberatan serta merupakan kerangka mengembangkan kekebalan hukum (impunity) intelijen[88].
Dalam ketentuan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disyaratkan bahwa mekanisme hearing dilakukan secara tertutup. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam pemeriksaan tertutup itu, bagaimana cara Hakim dalam menimbang sebuah laporan intelijen untuk bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran orang yang diduga atau kuasa hukum dari orang yang diduga tersebut, membuat Hakim dalam membuat keputusannya, tidak mempunyai opini pembanding dari laporan intelijen yang diperiksanya[89].
Menurut penulis, pemeriksaan di pengadilan tersebut dapat dilakukan secara tertutup tanpa dihadiri oleh masyarakat, mengingat kerahasiaan sumber dari laporan intelijen yang harus dilindungi. Namun bahwa suatu laporan intelijen telah melalui proses hearing sebelum dinyatakan sebagai bukti permulaan, harus diketahui benar oleh masyarakat (khususnya yang berkepentingan langsung) sehingga masyarakat mengetahui suatu laporan intelijen adalah benar telah melalui mekanisme hearing sebelum kemudian dinyatakan sebagai bukti permulaan. Hasil dari hearing yang sudah dilakukan pun harus dinyatakan secara terbuka. Hal ini merupakan kontrol sosial dari masyarakat sehingga penegak hukum tidak dapat sekehendak hatinya dalam menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan tanpa melalui proses yang telah ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, untuk menjaga obyektivitas, maka walaupun pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup, namun diusahakan untuk tetap memperhatikan opini dari masyarakat.
Perlu diingat bahwa penentuan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan, bukanlah sesuatu hal yang sepele, karena dari Penetapan Hakim inilah berpangkal dilakukannya suatu penyidikan yang dilakukan dengan melaksanakan penangkapan terhadap seorang tersangka, dan ini berarti menyangkut Hak Asasi Manusia dari si tersangka tersebut. Oleh karena itu, untuk persoalan yang sedemikian pentingnya, sudah selayaknya kalau bukan hanya seorang Hakim yang menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan, melainkan Majelis Hakim yang menetapkannya, bahkan bila perlu dihadirkan lebih dari satu orang ahli di bidang intelijen[90].
Selain itu, menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena masih merupakan hal baru untuk dilaksanakan, saat ini Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri tidak terlatih untuk memeriksa kelayakan suatu laporan intelijen[91]. Maka untuk mengatasi keadaan tersebut, dibutuhkan parameter yang jelas tentang laporan intelijen seperti apa yang bisa memenuhi syarat untuk bisa dikualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup[92]. Parameter itu pun harus dibuat secara transparan untuk menutup peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan[93].
Hasil dari mekanisme hearing yang telah dilaksanakan, berupa Penetapan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan untuk dilakukan penyidikan. Putusan tersebut paling sedikit harus menyatakan bahwa telah dilakukan pemeriksaan terhadap dokumen laporan intelijen atau dokumen selain laporan intelijen oleh Pengadilan Negeri dan atasnya ditetapkan bahwa telah diperoleh bukti permulaan yang cukup, sehingga selanjutnya dapat dilakukan tindakan berikutnya. Hal ini penting, sehingga dapat ditentukan bahwa tindakan aparat penegak hukum yang dilakukan dapat dipastikan tidak melawan
hukum[94]. Atas Penetapan tersebut harus dimungkinkan untuk dapat dilakukan pengujian mengenai kebenaran dasar-dasar penetapan.


D. Contoh Kasus.
Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam praktek telah dipakai sebagai dasar bagi aparat, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, berkaitan dengan peristiwa pemboman yang terjadi beberapa tahun terakhir ini di berbagai tempat di Indonesia.
Terdapat 9 (sembilan) orang yang ditangkap di Jakarta, yaitu Ahmad Sofyan alias Tamin (ditangkap tanggal 14 Agustus 2003, ditahan tanggal 20 Agustus 2003), Rofi alias Solihin (ditangkap tanggal 18 Agustus 2003, ditahan tanggal 24 Agustus 2003), Teten, Rachmat, Sukimin alias Babe, Said, Zubair alias Lutfi (ditangkap tanggal 17 Agustus 2003, ditahan tanggal 24 Agustus 2003), Farhan alias Syamsul Bachri (ditangkap tanggal 2 September 2003, ditahan 6 September 2003), Muhaimin Yahya alias Said (ditangkap 11 September 2003, masih dalam proses hukum), juga 2 (dua) orang ditangkap di Lampung, yaitu Ariwibowo alias Mustofa dan Awaluddin alias Abu Yasar alias Dani Sitorus, serta 2 (dua) orang ditangkap di Solo, yaitu Ikhsan dan Suradi alias Abu Usman alias Abu Zaid (ditangkap tanggal 8 September, ditahan tanggal 14 September 2003).
Mereka menjadi tersangka karena dianggap memiliki keterkaitan dengan peristiwa teror bom yang pernah terjadi di Indonesia[95].
Menurut keterangan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) POLRI, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, Tersangka Awaluddin alias Abu Yasar alias Dani Sitorus ditangkap karena terlibat peledakan bom di Medan, yang dilakukan atas perintah Hambali. Tersangka Ariwibowo alias Mustofa, ditangkap karena mengetahui akan dilakukan peledakan bom, namun tidak melaporkan hal tersebut kepada Polisi. Tersangka Suradi ditangkap berdasarkan ketentuan pasal 13 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, yaitu dianggap dengan sengaja memberi bantuan dan kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Selebihnya, para tersangka yang ditangkap adalah mereka yang menghadiri rapat-rapat sehubungan dengan evaluasi pelaksanaan Bom Bali, serta merencanakan peledakan bom berikutnya. Mereka ditangkap berdasarkan informasi yang diperoleh pihak Kepolisian.
Setelah penangkapan terhadap 13 (tiga belas) orang tersebut, POLRI melakukan lagi penangkapan terhadap 3 (tiga) orang lainnya di Semarang, yaitu Syamsul Bachri, Ir. Bambang Tutuko dan Thamrin, seorang warga keturunan Malaysia[96]. Penangkapan dilakukan berdasarkan 16 buah dokumen “Sri Rejeki” berbahasa Arab Tinggi, ditemukan oleh Polisi dalam penggerebekan sebuah rumah di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII nomor 2, Semarang pada bulan Juli 2002, bersama dengan penemuan buku-buku tentang perakitan bom, dan ranjau serta buku berisi ajaran destruktif. Dokumen berbahasa Arab Tinggi tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh POLRI melalui pihak yang berkompeten. Seluruh dokumen tersebut, berdasar pada ajaran Islam garis keras dan dilarang beredar di Arab dan Mesir[97].
Penangkapan yang dilakukan tersebut, menimbulkan pro dan kontra, ada pihak yang menganggap penangkapan tersebut sesuai dengan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, demikian pula terdapat pihak yang menganggap bahwa penangkapan tersebut melanggar dan telah menyalahi prosedur, sehingga menimbulkan kesan, bahwa yang dilakukan POLRI adalah penculikan bukan penangkapan. Untuk membahas masalah tersebut, diadakan Rapat Komisi I DPR pada hari Senin tanggal 15 September 2003, menghadirkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Da’i Bachtiar. Pada kesempatan tersebut dijelaskan bahwa penangkapan dilakukan berdasarkan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, namun terdapat penyimpangan prosedur, yaitu mengenai pemberitahuan kepada pihak keluarga para tersangka yang ditangkap oleh pihak POLRI, terlambat. Hal itu diakui oleh pihak POLRI, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia[98]. Seharusnya, agar tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Aparat dapat dibedakan dari tindakan penculikan sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang, maka Penangkapan harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang, dalam hal ini pada pasal 16 sampai dengan pasal 19 KUHAP, yang merupakan dasar pelaksanaan hukum acara yang dianut oleh Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[99].
Selain masalah pemberitahuan kepada pihak keluarga, penangkapan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 karena data dan laporan yang dipakai sebagai dasar penangkapan tersebut belum melalui proses hearing di Pengadilan Negeri seperti ketentuan pasal 26. Mengenai hal ini, POLRI, diwakili Edwin Mappaseng menyatakan bahwa yang harus mendapat penetapan dari Pengadilan adalah produk intelijen dari luar lembaga POLRI seperti BIN, produk intelijen Polisi termasuk dalam rangka penyidikan perkara, tidak memerlukan penetapan Pengadilan untuk menjadikan dasar untuk melakukan penahanan (dan penangkapan)[100].
Menurut Denny Kailimang, Polisi dengan kewenangan yang ada padanya dan perintah undang-undang, berwenang menangkap orang yang diduga mempunyai keterkaitan dengan aksi teror. Dalam perspektif undang-undang tentang tindak pidana terorisme, bukti yang diperoleh Polisi terdiri atas 2 (dua), yaitu bersumber dari sumber intelijen, serta dari hasil pemeriksaan Polisi terhadap para tersangka dan saksi. Untuk sumber pertama, yaitu dari sumber intelijen, diperlukan pelaksanaan mekanisme hearing seperti disyaratkan pasal 26, namun bagi sumber kedua, yaitu jika Polisi melakukan sendiri penyelidikan kasus atau menemukan sendiri tersangkanya, maka Polisi langsung memiliki hak untuk melakukan penangkapan selama 7X24 jam, tanpa melalui proses hearing terlebih dahulu[101].
Padahal, baik dalam ketentuan pasal 26 maupun penjelasan pasal 26 Undang-Undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak dibedakan laporan intelijen dari instansi mana yang harus melalui mekanisme hearing dan mana yang tidak harus melalui mekanisme hearing. Artinya, mekanisme hearing harus dilalui oleh semua laporan intelijen, tanpa ada pengecualian, untuk dapat dinyatakan sebagai bukti permulaan.



PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat pada Bab-Bab sebelumnya, maka pada bagian ini penulis akan menyimpulkan keseluruhan penulisan skripsi ini, mengenai Nilai Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dalam Kasus Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).
Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Laporan intelijen adalah suatu laporan dengan kualifikasi A1 dan A2 yang telah diotentifikasi oleh Badan Intelijen Negara yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional yang sumbernya dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI-ABRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan instansi lain yang terkait.

2. Dari pengertian bukti permulaan yang sering dipergunakan, dimana bukti permulaan diartikan berupa batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka persidangan sesuai ketentuan pasal 183 KUHAP dengan alat bukti seperti ditentukan dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, maka laporan intelijen tidak dapat dimasukkan dalam kategori bukti permulaan karena laporan intelijen tidak termasuk dalam satu pun dari 5 (lima) alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sehingga, lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa laporan intelijen yang diatur dalam pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bukanlah merupakan bukti permulaan menurut KUHAP. Artinya, pada dasarnya, ketentuan pasal tersebut merupakan penyimpangan dari asas umum hukum acara pidana.

3. Sesuai dengan uraian point 2 di atas, bahwa pada dasarnya, laporan intelijen yang diatur dalam pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan penyimpangan dari asas umum hukum acara pidana. Namun mengingat kedudukan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 sebagai peraturan khusus dari asas umum yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP yang merupakan dasar hukum pidana di Indonesia, maka berlaku adagium Lex Specialis derogat Lex Generalis, sehingga penyimpangan asas tersebut dimungkinkan asalkan dilakukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dan bukan semata-mata untuk mempermudah pembuktian atas suatu kasus tindak pidana. Sehingga lebih lanjut ditentukan laporan intelijen dapat dipakai sebagai bukti permulaan bila telah melalui proses/mekanisme hearing, yang dilakukan secara tertutup selama 3 hari, selanjutnya dituangkan dalam Penetapan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang selanjutnya memerintahkan untuk dilakukan penyidikan.

4. Hearing dilakukan untuk menentukan apakah suatu laporan intelijen secara sah dapat dipakai sebagai bukti permulaan. Mekanisme hearing dilakukan secara “tertutup”, dalam arti bahwa masyarakat tidak diberi akses untuk mengetahui bagaimana proses hearing tersebut dilakukan, mengingat kerahasiaan sumber dari laporan intelijen yang harus dilindungi. Akan tetapi hearing juga mempunyai sifat “terbuka”, artinya bahwa suatu laporan intelijen telah melalui proses hearing sebelum dinyatakan sebagai bukti permulaan, harus diketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat mengetahui suatu laporan intelijen adalah benar telah melalui mekanisme hearing sebelum kemudian dinyatakan sebagai bukti permulaan. Hasil dari hearing tersebut pun harus dinyatakan secara terbuka agar dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dari dasar-dasar penetapan yang dibuat oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini merupakan kontrol sosial dari masyarakat sehingga aparat penegak hukum tidak dapat sekehendak hatinya dalam menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan tanpa melalui proses yang telah ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, untuk menjaga obyektivitas, maka walaupun pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup, namun diusahakan untuk tetap memperhatikan opini dari masyarakat.

5. Pada hakekatnya laporan intelijen mempunyai kedudukan yang sama dengan informasi/keterangan lain yang diperlukan oleh penyelidik untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 5 KUHAP. Nilai kebenaran serta keakuratan laporan intelijen berbeda-beda karena terdapat beberapa kualifikasi (sebagaimana telah diuraikan pada bab 3 sub c tentang produk intelijen) dan masih memerlukan kajian/pengujian tentang kebenaran dari laporan tersebut, oleh karena itu laporan intelijen hanya dapat dipakai sebagai informasi/keterangan yang diperlukan oleh penyelidik sebagaimana pasal 5 ayat 1 huruf a angka 2 KUHAP. Karena laporan intelijen hanya berperan sebagai keterangan untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan dalam proses penyelidikan, maka laporan intelijen tidak mempunyai nilai sebagai bukti dalam tahap penyidikan. Artinya, penggunaan laporan intelijen tidak boleh melebihi porsinya sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan proses penyelidikan yang hasilnya digunakan untuk melakukan penyidikan. Dalam prakteknya seringkali Laporan intelijen justru langsung ditindaklanjuti dengan tindakan konkret misalnya dengan melakukan penangkapan.

6. Melihat pada fakta sejarah, tindak pidana terorisme mengalami pergeseran paradigma dari crimes against state yaitu kejahatan terhadap keamanan negara, menjadi crimes against humanity yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dikategorikan sebagai mala per se, termasuk gross violation of human rights (pelanggaran HAM berat), dan merupakan extra ordinary crime dan termasuk tindak pidana internasional (delicta juris gentium), sehingga untuk menanganinya dibutuhkan peraturan perundang-undangan khusus yang memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme tersebut, namun tanpa melupakan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, karena tindak pidana terorisme diberantas atas alasan Hak Asasi Manusia sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.

7. Urgensi dari pembentukan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah karena negara Indonesia belum mempunyai aturan hukum tentang terorisme, sedangkan KUHP hanya mengatur tentang ordinary crime dan KUHAP yang mengatur penyelesaian dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, dianggap tidak cukup memadai untuk mengatasi dan memberantas tindak pidana terorisme yang merupakan extra ordinary crime.

8. Pemberlakuan surut (Asas Retroaktif) dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 28 huruf I angka 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), selain karena pembatasan yang diatur oleh ketentuan pasal 28 huruf J angka 2 UUD’45 serta demi alasan keadilan (balance principle of justice) juga karena sifat tindak pidana terorisme yang khusus dan luar biasa. Demikian pula karena tindak pidana terorisme tergolong crimes against humanity, maka dalam hukum pidana internasional tidak diakui keberlakuan Asas Legalitas sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melainkan Asas Retroaktif dapat diberlakukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar.

B. SARAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis akan mencoba untuk memberikan saran yang sekiranya dapat berguna. Adapun saran-saran tersebut adalah:

1. Mengenai laporan intelijen sebagai bukti permulaan, terdapat banyak pendapat dari para ahli hukum (doktrin) yang memiliki bermacam pengertian yang berbeda-beda. Jika dalam pelaksanaannya masih terjadi kesimpangsiuran akibat silang pendapat, maka hal ini dapat berdampak buruk, oleh karena itu dari berbagai doktrin tersebut dapat diambil intisari, kemudian dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah. Sehingga pada saat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, tidak lagi terdapat pertentangan dan lebih lanjut dapat dicapai kepastian hukum, keseimbangan kepentingan publik serta Hak Asasi Manusia dapat lebih terjamin.

2. Laporan intelijen seharusnya tidak melebihi porsinya sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan proses penyelidikan yang hasilnya digunakan untuk melakukan penyidikan. Dalam prakteknya seringkali laporan intelijen justru langsung ditindaklanjuti dengan tindakan konkret misalnya dengan melakukan penangkapan.

3. Penentuan laporan intelijen sebagai bukti permulaan merupakan suatu hal yang rentan, mengingat pengalaman dimasa lalu, dengan berlakunya Undang-Undang Subversi, isu tindakan makar sebagai hasil dari laporan intelijen sangat efektif untuk membatasi kebebasan dan gerak langkah lawan-lawan politik suatu rezim yang mana hal ini jelas bertentangan dengan kehidupan negara demokrasi yang kita cita-citakan. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka disarankan agar laporan intelijen yang terkumpul diolah dan dianalisa secara tepat dan benar, sehingga benar-benar bermanfaat, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau rezim tertentu, tetapi untuk kepentingan umum yang lebih besar dan bersifat universal.

4. Laporan intelijen sebagai bukti permulaan, bukanlah sesuatu hal yang sepele, karena dari Penetapan Hakim ini berpangkal dilakukannya suatu penyidikan yang dilakukan dengan melaksanakan penangkapan terhadap seorang tersangka. Ini berarti menyangkut Hak Asasi Manusia dari si tersangka tersebut. Oleh karena itu, untuk persoalan yang sedemikian pentingnya, sudah selayaknya kalau bukan hanya seorang Hakim yang menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan, melainkan Majelis Hakim yang menetapkannya, bahkan bila perlu dihadirkan lebih dari satu orang ahli di bidang intelijen.

5. Karena mekanisme hearing masih merupakan hal baru untuk dilaksanakan dan saat ini Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri tidak terlatih untuk memeriksa kelayakan suatu laporan intelijen maka untuk mengatasi keadaan tersebut, dibutuhkan parameter yang jelas tentang laporan intelijen seperti apa yang bisa memenuhi syarat untuk bisa dikualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup, dimana parameter tersebut harus dibuat secara transparan untuk menutup peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

6. Perlu ditinjau kembali mengenai ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP, khususnya mengenai Asas Legalitas, apakah relevan untuk kejahatan yang dilakukan secara modern dengan teknologi tinggi, dimana tindakan tersebut tidak diatur dalam Buku II KUHP. Berkaitan dengan hal ini, disarankan agar dimasa mendatang, bila terjadi suatu kejahatan yang jenisnya tidak dirumuskan dalam pasal suatu undang-undang, Hakim harus berperan lebih aktif untuk menciptakan suatu norma hukum yang diperoleh bukan dari peraturan perundang-undangan (Asas Legalitas) melainkan norma hukum dapat digali dan diciptakan dari pemasalahan hukum yang ditanganinya karena hukum dapat digali sehingga tidak terdapat kekosongan hukum.

[1] Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”,<http://www.polarhome.com/>, 17 November 2002.



[2] Ibid.
[3] Adji, “Terorisme, Perpu No.1 Tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana”, Op. cit., hal. 35.

[4] Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002), hal 35.

[5] Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, cet. 1. (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal.19.

[6] Muladi, “Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia”, Op. cit., hal. 172.

[7] Muladi, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi”, loc cit. hal 6.

[8]Imam Cahyono, “Terorisme dan Hegemoni Kesadaran”, , 30 Oktober 2002.

[9] Mohammad Mova Al’Afghani, “Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukum” http://www.theceli.com/, 6 Agustus 2003.


[10] “Convention Against Terrorism”, <http://www.unodc.org/>, 13 Agustus 2003.

[11] Muladi, “Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia”, Op. cit., hal. 172.

[12] Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, <http://buletinlitbang.dephan.go.id/>. Diakses 15 Juli 2003.

[13] A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, cet. 1. (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) hal. 151.

[14] Mustofa, loc. cit., hal 33.

[15] Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., pasal 6.





[16] Ibid., pasal 7.



[17] Paulus, Op. cit.

[18] <http://www.terrorismfiles.org/encyclopaedia/history_of_terrorism.html>. Diakses 2 Agustus 2003.



[19] Muladi, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi”, loc. cit. hal 4.

[20] Paulus, Op. cit.

[21] Amien Rais, “Hadapi Terorisme dengan Cerdas”, <http://www.detik.com/>. Diakses 11 September 2003.


[22]Abu Muhammad AF, “Terorisme Internasional”, <http://www.alislam.or.id/>. Diakses 10 Oktober 2003.


[23] Awaludin, loc. cit.

[24] Ibid.


[25] Adji, “Terorisme” Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana, Op. cit.. hal 40.


[26] Keterangan Pemerintah tentang Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 101.

[27] Aloys Budi Purnomo Pr, “Perppu Antiterorisme dan Wajah Kemanusiaan Kita” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 82.

[28] Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, (Jakarta: BPHN DEPKEHHAM, 2002), hal.9.


[29] Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., Konsiderans huruf a.

[30] Adji, “Terorisme” Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana, Op. cit., hal 44.

[31] S.R. Sianturi, S.H. dan E.Y. Kanter, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3. (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002), hal 74.

[32] Ibid., hal. 75.

[33] Agung Tri Kristanto, “Menyandingkan Draf RUU dan Perppu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 70.



[34] Hingga saat ini, terdapat ketentuan Intenasional yang bertentangan dengan pemberlakuan Asas Retroaktif (berlaku surut), yaitu International Covenant on Civil and Political Rights, pasal 15 ayat 1 dan Universal Declaration of Human Rights pasal 11 ayat 2. Selain ketentuan-ketentuan tersebut, General Principles of Law dalam hukum negara-negara di dunia tidak memperbolehkan pemberlakuan Asas Retroaktif (berlaku surut) untuk pemidanaan, namun dapat diberlakukan pada kasus yang dinyatakan sebagai crimes against humanity. Lihat Al’Afghani, Op. cit.

[35] Ibid.

[36] Kristanto, Op. cit., hal 71.

[37] Hikmahanto Juwana, “Soal Terorisme, Pemerintah Ingin Credible di Mata Asing” <http://www.hukumonline.com/edisikhusus/>, 25 Desember 2002.

[38] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 huruf J angka 2: dengan pertimbangan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

[39] “Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perppu nomor 1 tahun 2002” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Op. cit. hal. 64.

[40] Kunarto, “Intelijen Pengertian dan Pemahamannya”, Op. cit., hal 19.

[41] Ibid., hal 20.

[42] Ibid., hal 22.

[43] Ibid., hal 52.

[44] Kunarto, “Intelijen POLRI”, cet. 1. (Jakarta: Penerbit PT. Cipta Manunggal, 1999), hal 124.



[45] Manullang, Op. cit., hal 48.

[46] Mulyo Wibisono, “Produksi Intelijen”, (Makalah yang disampaikan pada Diskusi Intern Ilmiah FHUI, 21 April 2003).

[47] Manullang, Op. cit., hal 51.

[48] Kunarto, “Intelijen, Pengertian dan Pemahaman”, Op. cit., hal 38.

[49] Ibid., hal 27.

[50] Ibid.

[51] Wibisono, Op. cit.

[52] Harahap, Op. cit., hal 125.

[53] Lamintang, Op. cit., hal 44.

[54] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, cet. 5. (Jakarta: PD Djambatan, 2002), hal. 50.

[55] Harahap, Op. cit., hal 126.

[56] Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penjelasan pasal 26 ayat 1, dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: OC Kaligis & Associates), hal 84.

[57] Pasal 184 ayat 1 KUHAP: “ Alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”.

[58] Prinst, Op. cit., hal 51.

[59] Harahap, Op. cit., hal 158.

[60] Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

[61] Harahap, Op. cit., hal 128.

[62] Prinst, Op. cit., hal 52.

[63] Ibid., hal. 51.

[64] Ibid., hal 50.

[65] Ibid., hal 51

[66] “Tim Pembela Ba'asyir Tolak Laporan Intelijen dan Saksi”, . Diakses 21 November 2003.

[67] “KUHAP Belum Dipahami Pelaksana”, <http://www.hamline.edu/>. Diakses 21 November 2003.

[68] Rudy Satriyo Mukantardjo, “Indubiu Proreo”, (Makalah disampaikan dalam acara Diskusi Ilmiah Intern “Laporan Intelijen dan Terorisme”, yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 21 April 2003).

[69] Ibid.


[70] Penafsiran logis adalah mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk akal. Lihat S.R. Sianturi dan E.Y. Kanter, Ibid., hal. 67.



[71] Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 2 KUHAP: Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 karena kewajiban mempunyai wewenang mencari keterangan dan barang bukti.

[72] Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penjelasan pasal 26 ayat 1, Op. cit., hal 84.

[73] Ibid.

[74] Al’Afghani, Op. cit.

[75] Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., Penjelasan pasal 26 ayat 1.


[76] <http://kompas.com/utama/news/0211/01/023654.htm>. Diakses 1 Desember 2003.

[77] “Laporan Intelijen Belum Pernah Dipakai” dari Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 47.


[78] “Ketua MA: Hanya Laporan dari BIN yang Diterima Pengadilan”, Kompas, Jumat 22 November 2002.

[79] Saldi Isra, “Judicial Review atas Perppu Anti-terorisme”, dalam Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal 124.

[80] Rachland Nashidik, “UU Terorisme Harus Diamandemen”, dalam Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal 113.

[81] Amiruddin, Agung Yudha, Supriadi Ediyono, “Kajian terhadap Perppu No.1/2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal. 89.

[82] Todung Mulya Lubis, Op. cit., hal. 94.


[83] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” , Op. cit., hal. 45.

[84] Pasal 21 ayat 1 KUHAP: Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

[85] Rudy Satriyo Mukantardjo, “Makalah: Mari Membaca dan Memahami Pasal 25, 26, Pasal 28 (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, hal 6.

[86] Kristanto, Op. cit., hal 74.

[87] Indriyanto Seno Adji, “Isu Subversif dalam Perpu nomor 1 tahun 2002”, dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, cet. 1. (Jakarta: OC Kaligis & Associates,April 2003), hal 55.

[88] Tim Imparsial, “Terorisme dalam Pergulatan Politik Hukum”, dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hal. 53.


[89] Amiruddin, Agung Yudha, Supriadi Ediyono, Op. cit., hal. 90.


[90] Mukantardjo, Op. cit.

[91] “Ketua Komnas HAM: Hakim Tak Terlatih Periksa Laporan Intelijen”, Kompas, Senin, 21 Oktober 2002.

[92] Ibid.

[93] Ibid.


[94] Mukantardjo, “Makalah: Mari Membaca dan Memahami Pasal 25, 26, Pasal 28 (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Op. cit. hal. 7.



[95] “Polisi Akui Tangkap 13 Orang Terkait Teror Bom”, Kompas, Selasa 16 September 2003.

[96] “Terkait Teror Bom, Polisi Tangkap Lagi Tiga Orang”, Kompas, Rabu 17 September 2003.

[97] <http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/06/sh01.html>. Diakses 1 Desember 2003.

[98] “Wapres: Penangkapan Jangan Dikaitkan Agama”, Kompas, Jumat 19 September 2003.


[99] Mukantardjo, “Makalah: Mari Membaca dan Memahami Pasal 25, 26, Pasal 28 (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Op. cit., hal 3.

[100] “Pemberantasan Teroris Jangan Melanggar HAM”, Kompas, Sabtu 20 September 2003.

[101] Denny Kailimang, “Transparansi, HAM dan UU Pemberantasan TP Terorisme”, Kompas, 23 September 2003.

2 comments:

lintang suryaningtyas said...

Tulisan ini dibuat bulan Desember 2003. Kalau ada perubahan-perubahan keadaan, mungkin tulisan ini akan di up-date lagi ya..

faithtaddonio said...

Casinos Near Casinos Near Harrah's Resort Atlantic City in
What are 충청남도 출장샵 the 정읍 출장마사지 closest casinos to Harrah's 서산 출장샵 Resort Atlantic City? 당진 출장샵 — With just 50,000 square feet 사천 출장마사지 of gaming space, two